post image
KOMENTAR
Komisi VII DPR akan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap energi primer PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Kemarin, Komisi VII DPR rapat kerja dengan pemerintah. Rapat itu rencananya mem­bahas reali­sasi tindak lanjut PLN, Badan Pelaksana Kegia­tatan Usaha Migas (BP Migas) dan Kemen­terian Energi dan Sum­ber Daya Mineral (ESDM) atas­ temuan laporan hasil peme­riksaan BPK tentang energi primer perusa­haan listrik negara.

Hadir dalam rapat itu Wakil Menteri ESDM Rudi Rubian­dini, Kepala BP Migas R Pri­yono, Kepala BPH Migas Andy Noor­saman Sommeng, Dirut PLN Nur Pamudji dan perwa­kilan Pertami­na serta  Perusa­haan Gas Negara (PGN).

Namun, gara-gara Menteri ESDM Jero Wacik dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan tidak hadir, rapat yang dimulai pukul 10.00 WIB itu pun akhirnya di­tunda Rabu (besok) malam. Pe­nundaan itu pun melalui per­debatan sesama anggota Komisi VII DPR karena sebagian ada yang ingin rapat itu dilanjutkan.

"Rapat saya tunda," ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Effendi Simbolon yang memimpin rapat.

Untuk diketahui, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK terhadap kinerja PLN se­panjang 2010, BPK menilai per­seroan itu gagal melakukan efi­sensi kinerja manajemen. Efi­siensi yang gagal dilakukan PLN salah sa­tunya adalah bahan baku pri­mer pem­bangkit senilai Rp 37,8 tri­liun. Akibatnya, BUMN listrik terse­but kehilangan kesem­patan menghemat biaya bahan bakar Rp 17,9 triliun pada 2009 dan Rp 19,6 triliun pada 2010.

Effendi menambahkan, rapat ini sangat penting untuk meng­klarifikasi temuan BPK itu. Me­nurutnya, hal ini juga sangat pen­ting untuk menghitung sub­sidi listrik yang setiap tahunnya terus meningkat.

Politisi PDIP itu juga menga­takan, pihaknya akan meminta BPK untuk melakukan audit in­vestigasi terkait salah minum pembangkit listrik PLN tersebut. Meski begitu, pihaknya akan ter­lebih dahulu mendengarkan alas­an dari pemerintah   "Dalam per­te­muan dengan BPK, mereka me­ngatakan temu­an itu bisa di­audit lebih dalam lagi dengan audit investigasi," cetusnya.

Wakil Menteri ESDM Rudi Ru­biandini mengatakan, penye­bab inefesiensi yang ditemukan BPK dikarenakan tata niaga gas.

"Ada Priotitas peruntukan gas, prioritas pertama untuk injeksi produksi minyak (Minyak Duri yang dikelola Chevron), untuk listrik, untuk pupuk dan terakhir untuk industri," jelasnya.

Karena prioritas gas ter­sebut alokasi gas untuk PLN ti­dak ada, menurut Rudi, saat itu pe­me­rintah lebih memprio­ritas­kan gas untuk injeksi uap guna me­ning­katkan produksi minyak setelah itu baru untuk PLN.

"Betul (karena prioritas gas). Tapi kan barangnya nggak ada. Lagi pula, masalahnya adalah mau ke mana ini didahulukan. Itu yang jadi masalah, karena pada saat itu ketika gas shortage, kalau nggak salah 20 hari, kare­na sesuai Permen itu yang dila­kukan," ungkap Rudi.

Direktur Utama PT PLN Nur Pa­mudji membantah temuan BPK yang menyebutkan ada ke­ru­gian negara Rp 37 triliun ter­kait salah minum pembangkit peru­sahaan listrik negara itu.

"Itu bukan pemborosan uang negara. Kalimat yang benar ada­lah PLN kehilangan kesem­patan berhemat selama 2 tahun sebesar Rp 37 triliun," katanya.

Menurut Nur, kehilangan po­tensi penghematan tersebut di­sebabkan pasokan gas yang tidak sesuai kontrak. Akibatnya, per­se­roan menggunakan BBM se­bagai penggantinya. 

"Ada pem­bangkit-pembangkit PLN yang pada saat itu harusnya pakai gas, tapi karena gasnya tidak ter­sedia ya pakai BBM ka­rena listrik tetap harus nyala," tandas Nur.  [rmol/hta]


 

Kemenkeu Bentuk Dana Siaga Untuk Jaga Ketahanan Pangan

Sebelumnya

PTI Sumut Apresiasi Langkah Bulog Beli Gabah Petani

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Ekonomi