MBC. Penolakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terhadap RUU Keamanan Nasional (Kamnas) akan menjadi masukan Fraksi Partai Golkar DPR dalam mendalami, baik subtansi maupun redaksionalnya, yang saat ini menjadi perdebatan fraksi-fraksi di DPR.
"Prinsipnya Fraksi Golkar DPR mendorong agar subtansi dan redaksi RUU Kamnas harus memenuhi nilai-nilai demokrasi, tidak memberangus kebebasan sipil dan tidak melanggar HAM, sehingga dengan adanya RUU Kamnas dapat menjawab kebutuhan warga negara yang mendambakan keamanan secara nasional. Masukan ini menjadi perhatian dan menjadi telaah bagi FPG nanti dalam menyikapi RUU Kamnas," ujar Ketua Fraksi Golkar DPR, Setya Novanto, didampingi Deputi Polhukam Fraksi Golkar Yorrys Raweyai saat menerima Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan di Gedung DPR Senayan Jakarta, Rabu (17/10).
Koalisi 15 LSM Reformasi Sektor Keamanan yang antara lain Imparsial, Kontras, Elsam, LBH Masyarakat, IDSPS, AJI Indonesia, Lesperssi, HRWG, The Ridep Institute, YLBHI, ICW, LBH Jakarta, dan Setara Institute tersebut menyampaikan aspirasi kepada FPG DPR terkait poin-poin krusial RUU Kamnas yang bisa membahayakan masa depan demokrasi dan kebebasan sipil seperti definisi tentang ancaman nasional, pembentukan dewan keamanan nasional, pembentukan forum koordinasi keamanan nasional dan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Menurut Setya Novanto, Fraksi Golkar DPR menyampaikan terima kasih kepada koalisi LSM yang telah memberikan masukan karena aka nada pertemuan antara pemerintah dan DPR pada 23 Oktober nanti. Fraksi Golkar DPR akan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menyampaikan subtansi materi RUU Kamnas. Sebab, RUU ini harus disingkronisasikan dengan berbagai Undang-undang yang ada seperti UU tentang Penangan Konflik Sosial, UU Kepolisian Negara, UU TNI, UU Pertahanan Negara, UU Kebebasan Informasi Publik, UU HAM dan Undang-undang lainnya.
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf mengatakan, sekuritisasi dalam hal ini, berada dititik persilangan antara implementasi demokrasi oleh sebuah pemerintahan atau tindakan otoriter untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.
"Sekuritisasi berupaya mendefinisikan ulang pilihan-pilihan solusi yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan kepada opsi-opsi yang cepat dan koersif, seringkali berbentukan pengerahan militer," katanya.
Menurut Al Araf, nuansa sekuritisasi dapat terlihat dari pemberian kewenangan khusus penangkapan dan penyadapan kepada TNI dan BIN, sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 51 huruf e jo pasal 20. Pemberian kewenangan judicial kepada aktor keamanan yang bukan menjadi bagian dari aparat penegak hukum itu, bukan hanya akan merusak mekanisme criminal justice system tetapi juga akan mengancam penegakan HAM dan kehidupan demokrasi.
"Penting untuk diingat bahwa kewenangan penangkapan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum yakni, Polisi, Jaksa dan lembaga hukum lainnya yang telah ditetapkan oleh Undang-undang. Dalam konteks ini, BIN dan TNI bukanlah bagian dari aparat penegak hukum sehingga keliru bila diberikan kewenangan judicial," ujarnya. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA