MBC. Insiden pemukulan oknum militer terhadap lima wartawan dan dua warga sipil di Lanud Roesmin Nurjadin, ketika melakukan pesawat tempur Hawk 200 di kawasan Pandau Permai, Pekanbaru, Riau, Selasa (16/10) berimplikasi pada pembahasan RUU Kamnas. Insiden ini dijadikan alat bagi sementara kalangan untuk menolak RUU Kamnas, dimana menempatkan unsur militer sebagai pemangku kebijakan utama.
Salah satu yang mengkaitkan itu adalah anggota Komisi I DPR RI, Effendy Choirie. Dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Effendi menilai kasus penganiayaan kepada wartawan jelas mengundang antipati publik kepada militer.
“Bagaimana rakyat mau percaya kepada militer kalau sikapnya masih seperti ini? Sebentar-sebentar mengandalkan kekerasan kepada rakyatnya sendiri ?” ujar Effendy, Rabu (17/10).
Ia menilai, RUU Kamnas sangat sensitif karena ada potensi besar bersifat gangguan terhadap demokrasi, kebebasan dan hak sipil dan gangguan terhadap pers.
"Faktanya kemarin ada gangguan kepada pers itu muncul kok. Apalagi pelakunya Pamen TNI yang seorang Letkol. Makanya wajib ditolak RUU itu," imbuhnya.
Dijelaskan pula, definisi keamanan dalam pasal di RUU Kamnas masih sangat bias, apalagi menyinggung rahasia negara semua bisa dinilai sebagai ancaman.
"Saya kira bagi militer yang namanya pesawat tempur itu rahasia negara. Salah. Pesawat tempur kalau sudah terbang dan jatuh, maka hak rakyat, karena belinya pakai uang rakyat untuk tahu kenapa jatuh. Bukan jurnalis malah dipukuli," tegasnya. [arp]
KOMENTAR ANDA