Sudah semestinya masyarakat dan bangsa Indonesia mengubah pendekatan dalam memperingati peristiwa berdarah dinihari 1 Oktober 1965 yang lebih sering disebut G30S. Peristiwa itu, bersama gelombang pembantaian massal yang mengikutinya, sudah terlalu lama menghantui dan memecah belah bangsa Indonesia.
Kini, masyarakat dan bangsa Indonesia, menurut Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, harus mengetengahkan semangat rekonsiliasi nasional setiap kali membicarakan peristiwa tersebut. Dengan demikian, sudah tidak perlu lagi dipersoalkan latar belakang seseorang, apakah dari lingkungan yang dianggap memiliki kaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan peristiwa berdarah itu atau tidak.
Syahganda yang berbicara di Jakarta, hari Minggu (30/9) mengatakan, peringatan peristiwa berdarah 1965 itu perlu ditarik dan dimaknai dari sudut pandang kekinian berkaitan dengan hubungan antarkelompok bangsa, dengan mengedepankan rasa persatuan nasional demi membangun Indonesia yang lebih baik untuk kesejahteraan rakyat.
"Kenangan terhadap peristiwa G30S tidak relevan lagi, (terlebih bila) untuk melanjutkan luka sejarah maupun bentuk permusuhan lainnya," ujar Syahganda.
Masih menurut Syahganda, kini yang seharusnya dijadikan musuh besar bersama dalam konteks kekinian adalah fenomena kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua hal ini layak diperangi bersama-sama.
"Bahkan, kemiskinan di tengah rakyat saat ini lebih berbahaya (dari peistiwa G30 S dan PKI) baik masalah maupun penyebabnya, utamanya berkaidan dengan upaya menghadapi cengkeramanan kaum kapitalis yang merupakan perpanjangan tangan kapitalisme asing," demikian Syahganda. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA