Dalam politik, perubahan terjadi dalam hitungan detik. Karena itu tidak bisa disimpulkan bahwa Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto lebih diuntungkan untuk menghadapi Pilpres 2014 daripada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri akibat dari Pilkada DKI Jakarta.
Menurut politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari, justru akibat Pilkada DKI Jakarta, PDI Perjuangan mendapat keuntungan intangible yang luar biasa. Pilkada Jakarta bukan membuktikan jalan ideologi partai melalui strategi gotong royong sangat efektif. Demikian juga keputusan partai memberi rekomendasi dan memberi tiket kepada Jokowi merupakan eksperimen politik PDI Perjuangan untuk menjadi partai pelopor yang melawan kehendak umum partai politik berhasil secara melegakan.
"Terlalu dini untuk mengukur pilpres (dengan pilkada DKI Jakarta). Terlalu gegabah mengkaitkan Pilkada DKI sebagai barometer Pilpres," kata Eva kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Jumat, 28/9). Pernyataan Eva ini terkait dengan hasil exit poll Saiful Mujani Researhc and Consulting (SMRC) yang menyebutkan bahwa kemenangan Jokowi-Basuki di Jakarta berdampak pada elektabilitas Prabowo yang kian naik.
Eva mengakui bila Megawati memang tidak memanfaatkan momentum Pilkada Jakarta untuk nge-bosst Pilpres. Sebab bagi PDI Perjuangan, Pilpres bukan prioritas dibandingkan dengan konsolidasi internal dan memperkuat gerbong partai. Saat ini, masalah pilpres bukan masalah utama sebab kepentingan partai lebih didahulukan daripada sekedar kepentingan perorangan pimpinan, yaitu dalam Pilpres. Di saat yang sama, PDI Perjuangan juga sedang fokus mengkapitalisasi strategi untuk pilkada di daerah lain.
Eva hanya mengingatkan Prabowo bahwa poling bukanlah ukuran. Hal ini terbukti dalam Pilkada Jakarta, ketika dalam hitungan tujuh hari saja, Jokowi-Basuki mampu menjungkirbalikan ramalan-ramalan hasil poling di putaran pertama. Apalagi terkait dengan pilpres, yang masih dua tahun lagi.
"Masih terlalu jauh untuk disimpulkan (tingkat elektabilitas Prabowo tinggi di pilpres). Terlalu spekulatif. Bahkan ada survei lain yang menyatakan sebaliknya, oleh lembaga lain bahkan oleh lembaga sama di waktu yang beda. Satu survei jangan jadi kesimpulan permanen. Politik dinamis dan seringkali polling hanya mengikuti opini publik yang sedang berkembang saat ini," demikian Eva. [rmol/hta]
KOMENTAR ANDA