Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI), Monang Tobing, menilai masalah birokrasi dan tidak adanya kepastian hukum adalah penghambat paling besar bagi investor untuk mengembangkan investasi di Indonesia. Birokrasi yang berbelit-belit dan ketidakpastian usaha membuat kalangan investor terpuruk sehingga peringkat daya saing Indonesia di peta global menurun.
Pernyataan Monang Tobing tersebut disampaikan kepada wartawan di Jakarta, Rabu (19/9), untuk menanggapi laporan WEF (World Economic Forum) mengenai daya saing global 2012-2013 yang menempatkan posisi Indonesia menurun empat peringkat menjadi urutan ke 50, dan jauh berada di bawah Singapura yang berada di peringkat 2, Malaysia peringkat 25, dan Thailand peringkat 38.
Disebutkan, kasus paling mutakhir, di mana pengusaha Hartati Murdaya diduga menjadi korban pemerasan oleh oknum bupati, adalah contoh konkret bahwa hukum tidak ditegakkan demi melindungi investasi. Pemerintah daerah butuh investasi untuk mengembangkan daerahnya, sehingga seharusnya investor dilindungi, bukannya malah dipersulit, apalagi diperas.
''Masalah yang perlu dijawab adalah mengapa investor dalam negeri yang memajukan daerah yang diduga menjadi korban pemerasan penguasa, malah dituduh menyuap? Inilah dilema pengusaha yang berniat baik memajukan daerah, malah diganjal oleh perilaku birokrat di daerah,'' katanya.
Menurut Monang Tobing, laporan WEF yang menempatkan daya saing Indonesia jauh di bawah Malaysia dan Singapura tersebut adalah pukulan telak, karena program reformasi birokrasi dan debottlenecking (menghilangkan hambatan dunia usaha) yang terus digembar-gemborkan pemerintah tidak menunjukkan hasil optimal.
Dikatakan, sebenarnya reformasi birokrasi sudah digulirkan terus menerus sejak tahun 2007, tetapi perubahan belum banyak terlihat. Birokrasi masih menjadi masalah, prinsip-prinsip dan nilai-nilai birokrasi dalam implementasi otonomi daerah masih terabaikan. Praktik korupsi merajalela, jabatan dimanfaatkan untuk kepentingan mengeruk keuntungan pribadi, keluarga, dan kelompok.
''Birokrasi dan ketidakpastian hukum menjadi faktor utama hambatan perkembangan ekonomi daerah. Sebagai contoh, luasan ijin lahan bagi kepentingan investasi yang berubah-berubah karena adanya berbagai peraturan baru yang diterbitkan, menimbulkan ketidakpastian usaha bagi para investor. Tidak hanya itu, pengurusan surat-surat ijin tersebut juga harus melalui lapisan birokrasi yang bertumpuk,dan berbelit,'' kata Monang Tobing.
Hal ini semakin membuat investor terpuruk, dan sangat dirugikan. Mereka telah berupaya untuk memajukan daerah tersebut, namun hanya dijadikan sapi perah. Kalau keadaan ini terus berlanjut, investor dalam negeri akan lari ke negara tetangga yang memiliki iklim investasi lebih kondusif dan pasti.
Laporan World Investment Report yang dirilis setiap tahun juga menunjukkan bahwa investor lebih tertarik untuk melakukan penanaman modal di negara yang telah memiliki kemapanan sistem pelayanan dan jaminan kepastian hukum. Motivasi investor dalam melakukan kegiatan penanaman modal sangat ditentukan oleh enam faktor yang meliputi, kondisi politk dan keamanan stabil, tata kelola pemerintahan dan sistem pencegahan korupsi, legal framework dan rule of law, pangsa pasar dan prospek pertumbuhan ekonomi, upah tenaga kerja yang sebanding dengan tingkat produktivitas (wedge adjusted productivity oflabor), dan ketersediaan infrastruktur yang memadai.
''Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya melimpah namun tidak berkembang, karena investor dalam negeri mulai enggan untuk menanamkan modal mereka di daerah. Ketakutan mereka beralasan,karena suatu saat bisnis mereka terancam tutup apabila tidak ada kepastian hukum maupun adanya kendala birokrasi,'' pungkas Monang Tobing. [dem]
KOMENTAR ANDA