post image
KOMENTAR
Matahari masih begitu sangar membakar, ketika lelaki itu tiba dari pasar. Sembilan bulan bertapa di dalam kamar, mengasingkan diri dari kebisingan dunia yang hungar bingar membuat dendamnya semakin subur mengakar.

Dia kembali mengunci kamar dengar rapat. Sebilah parang yang sudah dibelinya dengan harga yang tak semahal dendam yang dimilikinya sudah tergolek di lantai. Lelaki itu berlalu mengambil botol air mineral dan mulai membasahi batu asah. Matahari masih terus menatapnya. Lelaki itu sudah tak lagi meratap dia sedang melihat nyala api yang sedang berkobar di depan matanya lewat dan mendekat.

Keputusan sudah bulat. Dia tak mungkin mati dengan membawa kisah memilukan sekaligus memalukan ini. Baginya, penghinaan yang sudah didapatnya sembilan bulan lalu harus segera terbayar. Tak bisa lagi.

 Menunda dendam berarti mengubur diri dengan pengharapan yang penuh kesia-siaan. Lelaki itu terlalu perkasa untuk mati dalam penyesalan. Dia masih Saiman sembilan bulan yang lalu, meskipun hari ini dia sudah mulai dilupakan banyak orang.

Dia mulai mengasah parangnya. Besi dan batu beradu. Kisah-kisah masa lalu dan angan-angan akan nasib yang akan dihadapinya menyatu. Saiman sudah lemah. Itu tak bisa dipungkiri. Sejak kekalahan sembilan bulan lalu, dia tak pernah menyiapkan batinnya. Seluruh latihan pembalasan dendam sepenuhnya miliki tangan dan bagian-bagian tubuhnya yang bakal berjibaku melawan sasaran. Siasat yang disusun pun tak pernah menyentuh perigi hati. Batin Saiman kering dan terbakar. Dia bukanlah Saiman sembilan bulan yang lalu, meski hari ini tubuhnya memiliki kekuatan dua kali lebih bugar.

Angin bertiup. Awan bergerak menutupi sinar matahari yang membakar. Namun begitu, Saiman tak pernah kekurangan energi untuk mempersiapkan parangnya dengan tajam. Dia terus mengasah. Parangnya sudah berkilat. Lelaki itu meraba kesempurnaan hasil pekerjaannya. “Belum tajam,” gumamnya. Matanya yang merah semakin bergairah. Sembilan bulan dia menukar istirahatnya dengan segala kemungkinan. Boleh jadi parang ini akan benarbenar membantunya menghadapi maut. Tapi tentu boleh pula, parang ini takkan bisa berbuat banyak ketka maut sudah menghadang jalan Saiman.


“Kau masih Saiman. Dan selamanya kami akan mengingatmu sebagai Saiman,” kenangnya pada sebuah percakapan antara dia dengan Karto, sahabatnya yang sudah tewas, delapan bulan yang lalu. Karto adalah temannya yang terakhir yang selamat dari pembantaian keji yang dilakukan Sudarisman, komandan centeng yang diperhambakan Haji Omar untuk mengawal segala bisnis hitam di wilayah ini.

Saiman memperlambat gerakan tangannya, parang semakin berkilau. “meski kau tak ikut dalam pembalasan ini, kami tetap menghormatimu sebagai ketua kami,” lanjut citra karto yang berkelebat hebat di hadapan mata Saiman.
“Omong kosong! Kalian tak menghormatiku. Kalian semua! Kalian telah ikut menginjak harga diriku!” maki Saiman kepada ruangan.  Sekarang dia benar-benar terpukul. Dadanya berguncang. Nafasnya tersengal. Dia tak bisa melupakan tindakan karto yang pergi membalas dendam tanpa ijin darinya.

Delapan bulan lalu, di sebuah kamar di kota persembunyian, Saiman didatangi tiga orang pemuda hebat. Kehebatan tiga pemuda itu sungguh telah membuat Saiman menjadi berang. Pasalnya keadaan seakan membuktikan bahwa, Saiman, jagoan Pasar Besar benar-benar sudah ompong setelah dikalahkan dalam petempuran tak seimbang melawan Sudarisman.

“Kami ingin menghancurkan Sudarisman, Ketua!”
“Ini perangku! Kau semua tak perlu ikut campur. Harga diriku sudah diinjak. Itu bukan harga diri kamu semua. Kamu semua cuma anak bau kencur!” maki Saiman kala itu. Darahnya mendidih. Karto dan dua temannya sudah membuat dirinya kian tersudut dan terlecehkan.  

“Sekali lagi, kularang keras kalian mengambil bagianku!”
“Tidak, Ketua, restui kami mewakilinya,”
“Edan! Kau pikir aku apa? Kau pikir aku tak bisa menuntaskannya?” ujar saiman sambil menggebrak lantai. Ketiga anak muda yang mendatanginya pada suatu malam, delapan bulan lalu bergetar ketakutan.
“Maafkan kami Ketua, darah telah tumpah. Ini sudah bukan perang milik Ketua sendirian. Dua teman kita telah terbantai secara keji. Kekejian itu bahkan tidak pernah terlintas di kepala kita. Kita hanya mengambil sisa-sisa ketamakan mereka. Dan mereka meminta agar sisa-sisa yang sudah susah payah kita kumpulkan untuk diserahkan. Ini juga perang kami. Ini dendam kami, Ketua.”

“Tutup mulutmu! Sejak kapan kau berani melawan perkataanku? Apakah itu sejak kau melihat aku melarikan diri dengan kepala berdarah, rusuk terbelah karena dihajar Sudarisman dan rombongannya?”
Ketiga pemuda yang sedang menunggu maut itu henyak sesak.
“Sekarang, kembalilah kalian ke persembunyian kalian masing-masing. Jangan ada yang bergerak sebelum kuperintahkan. Itu juga kalau kalian masih menganggapku Saiman, jagoan Pasar besar...”

Tanpa membantah, ketiga pemuda itu pun pergi meninggalkan Saiman. Dan itu adalah kesempatan terakhir Saiman melihat wajah Karto dan dua temannya. Delapan bulan lalu, Karto ditemukan tewas dengan lubang-lubang menganga di dada dan kepalanya. Dia dan kedua temannya terkapar bersimbah darah di tangga mesjid, tempat biasa dulu Saiman dan gerombolannya biasa menghabiskan waktu untuk mengatur rencana perampokan dan penjarahan harta yang dimiliki Haji Omar, tuannya Sudarisman dan gerombolan.

Parang sudah berkilau. Setan sudah meliuk-liuk ketika Saiman melihat bayangannya sendiri di permukaan parang itu. Sembilan bulan Saiman menyembunyikan diri. Menghapus segala luka dan bisa yang lengket di sekujur tubuhnya. Selama itu tak sedetik pun dia melupakan penghinaan yang sudah diterimanya dalam penyerbuan Gerombolan Sudarisman di Pasar Besar. Dendam semakin berkarat ketika sebulan setelah itu, Karto, orang kepercayaannya tewas dalam sebuah insiden di tangga mesjid. Selama sembilan bulan dia sudah persiapkan rencana ini dengan matang.
Saiman mulai putus asa. Parangnya sudah siap mencabut nyawa.

Namun begitu, delapan bulan terakhir ini, kabar tentang Sudarisman tak terbetiknya. Dia hanya samar-samar mendengar kabar yang beredar mengenai musuhnya itu. Lelaki yang sudah lumat dimamah dendam kesumat itu mulai kehilangan sabar. Parang yang ada digenggamannya mulai bergetar. Saiman bangkit berdiri. Dia harus menemukan Sudarisman walau bagaimanapun jua.
Di Pasar Besar, jago-jago baru terus tumbuh dan berakar. Mereka merambat dan menjalar, bergerak, berputar. Kadang oval, kadang spiral. Mereka membuat perlintasan, membangun kekuatan di atas peraturan yang tak beraturan. Mereka belajar menjadi bengis, mereka bersiap menjadi sadis. Mereka adalah generasi baru yang tumbuh sendiri bebas dari pertikaian bayangan Saiman dan Sudarisman. Jago-jago itu siap lahir dan mengisi kebekuan udara bumi.

Sejak menghilangnya Sudarisman, usai tragedi penembakan Karto dan gerombolannya, Haji Omar memutuskan untuk mencari orang baru. Dia sudah memilih jago baru untuk mengamankan segenap kelancaran laju bisnisnya. Meski nyatanya jago-jago pilihannya masih tak sebanding dengan kualitas Sudarisman, namun Haji Omar tak perlu terlalu kuatir. Sebab, Saiman dan komplotannya sudah habis dan menyingkir dari Pasar Besar.

Karto si anak emas, bahkan sudah dihabisi oleh Sudarisman pada delapan bulan yang lalu. pernah sekali waktu Haji Omar cemas juga akan pembalasan si macan tua, Saiman. Namun kecemasan itu hanya selintas lalu. Tatkala Haji Omar berhasil merekrut jago-jago baru pengganti Sudarisman, nama Saiman pun seakan sirna dan menjadi bukan siapa-siapa.


Haji Omar begitu sayang pada jago-jago barunya. Dia mempedulikan kesejahteraan mereka. Haji Omar membagi keuntungannya dengan bijak. Sehingga tak bisa disangkal soal loyalitas mereka. Namun apalah arti loyalitas dan kehebatan jago-jago baru miliknya itu? ketika pada suatu malam, Saiman yang penuh oleh luka akhirnya berhasil menerabas masuk halaman rumahnya. Semua jago jago baru yang baru sumur jagung itu pun lintang pukang menghindari Saiman seorang.

“Berhenti Saiman! Demi Tuhan, jangan teruskan!” rengek haji Omar ketika Saiman sudah benar-benar berdiri dengan perkasa di hadapannya. Dengan parang mengkilap Saiman siap menyelesaikan kisah Haji Omar, tengkulak dan biang kemiskinan di Pasar Besar. Sementara si pemilik rumah sudah dudk bersimpuh dengan wajah yang lebam oleh pembalasan dendam.
“kau, biadab, Omar” maki Saiman sambil menempelengi haji Omar. Sementara, Haji Omar dengan keras mempertahankan nyawanya . Dia kewalahan sendirian,  tak seorang pun pengawalnya berada di sekitarnya. Dan di hadapannya,

Saiman si singa luka siap menerkam mangsa.
“Ampun, Saiman, aku menyerah,” ujar haji Omar ketika dia menyadari bahwa dioa sudah tiba di penghujung tali kehidupannya. “sebelum kau membunuhku, dengarkan penjelasanku,”

Saiman berhenti sejenak, mengambil nafas panjang dan mempersiapkan ayunan parangnya.
“Aku sudah dikhianati Sudarisman. Dia sudah membawa lari kepercayaanku. Aku berharap kau segera menemukannya, dan mengirimnya bersamaku ke neraka,” iba Haji Omar. Saiman mengurungkan ayunan parangnya.
“Jadi kau benar-benar tak tau di mana Sudarisman?”
“Kalau aku tau, sudah tentu yang sekarang berhadapan denganmu bukanlah jago-jago teri itu,”
“kau menipuku?”
“Iya, aku menipumu. Tapi itu dulu. Ketika aku tak mengenalmu. Tapi setelah aku mengenalmu, aku berniat mempekerjakanmu. Sudarisman selalu berkata, kalau kau adalah musuh yang harus dihabisi pada langkah awal pelebaran usaha”
“Begitu kah? Hahaha... berdoalah kau, hai hamba syetan!”
“Saiman, tunggu dulu. Aku terpaksa menyisihkan anggaran untuk menumpas gerombolanmu, karena muslihat Sudarisman. Kau harus tau, aku selalu berusaha adil dan aku memikirkan orang-orang di Pasar Besar...”
“Baik sekali kau memikirkan kami. Usahamu itu tetap tak bisa dibenarkan. Kau tak punya alasan untuk mempertanggungjawabkan dosamu, Omar!”
Haji Omar menangis. Namun Saiman tetap mengayunkan parangnya.
Sejak malam itu, tak adalagi jago-jago yang tumbuh di dalam satu komando.

 Kematian haji Omar telah membuka persaingan terbuka di Pasar Besar. Banyak jagoan baru yang lahir. Dan banyak pula jagoan yang begitu lahir kemudian mati. Meski sekarang sudah berdiri tiga pos polisi, namun pertempuran lahan masih terjadi antar kelompok-kelompok yang berusaha menjadi Haji Omar yang baru.

Setelah duabelas tahun melarikan diri dari kejaran polisi dan incaran jago-jago baru, Saiman yang tak pernah dengan resmi meletakkan gelar jagoannya melanglang buana bersama angin. Pada suatu langkah yang lelah. Di dalam lumatan dendam dan pencarian Sudarisman, Saiman berhenti sejenak. Badannya semakin lusuh. Cambang menutupi identitas aslinya. Gerakannya lamban namun masih menunjukkan kesiapsiagaan.

Di dalam mesjid, saksi kematian Karto dan dua temannya, Saiman melepas gelisahnya. Di sampirkannya parang yang selama ini menemaninya. Saiman bersiap menghadap Tuhannya. Sisa air wudhu masih meleleh ketika dia melihat orang yang paling dicarinya berada di tempat itu. Saiman membuka matanya lebar-lebar. Dibukanya segala ingatan mengenai Sudarisman. Bulu tengkuknya bergidik. Matanya menyidik. Lelaki renta itu kembali terbakar kemudaan. Didekatinya sang buruan. Saiman berdiri di belakang barisan ketika shalat dimulakan sang imam.

Sudarisman tergopoh-gopoh berdiri. Dia lunglai. Hampir tak bisa dikenali lagi kalau dia adalah Sudarisman, anak muda yang pernah membuat Saiman terkelupas oleh dendam. Jari tangan kirinya yang tak lagi utuh adalah penanda bagi siapaun yang pernah mengenalnya. Sudarisman mengangkat takbir. Saiman pun mengangkat takbir. Ketika shalat selesai, Sudarisman berdoa, Saiman tidak berdoa. Dia bergegas menyambar parangnya. Sepanjang ini dia sudah lelah berdoa, dan Tuhan agaknya mengabulkan doanya hari ini. Saiman mencari posisi yang aman untuk memulai pengintaian. Dia sadar betul Rumah Tuhan bukanlah tempat yang tepat untuk menyambut doanya yang terkabulkan oleh Tuhan. Saiman berlari ke halaman, dia memilih gerbang sebagai tempat segala kemungkinan.

Dari kejauhan, buruannya tampak berdiri sendirian. Wajahnya terkulai ke tanah. Langkahnya terseok. Tak ada yang tersisa dari masa muda Sudarisman. Badannya ringkih, guratan penderitaan tergambar jelas di dahinya.

Dan ketika keduanya berpapasan di pintu gerbang, Sudarisman melihat ke arah maut yang sudah menantinya. Sepuluh tahun sudah dia habiskan waktu di balik terali besi. Dia sadar bahwa hukuman itu belum setimpal dengan kejahatan yang pernah dilakukannya ketika menjadi orang suruhan Haji Omar. Sepuluh tahun tidak bisa menggantikan tahun-tahun yang dimiliki Karto dan teman-temannya. Sepuluh tahun juga tak bisa mendapatkan kembali tahun-tahun kehilangan Saiman di dalam rimba dendam.

Selama itu dia benar-benar insaf akan kebodohannya. Dia telah sadar bahwa membangun kesepakatan dengan setan akan membawanya kepada jalan kesesatan. Dan di pintu gerbang rumah Tuhan, buah dari kejahatannya siap dipanen. Meski samar, namun Sudariman dapat melihat bayangan wajah Saiman. Bayangan itu adalah bayangan yang selalu dengan keras dihindarinya. Selalu dikuatirkannya ketika malam menjelang.

 Namun, bayangan wajah itu pula yang dirindukan Sudarisman. Bayangan menakutkan itu cukup beralasan untuk membuat Sudarisman melempar senyum.

Dan ketika parang berayun di udara, dan keramaian warga pecah juga oleh suara lolongan yang penuh kesakitan, Saiman dengan senyum ditahan melenggang dengan anggun meninggalkan Sudarisman.

Bengkel Jiwa, Pasar Besar, 04 Ramadhan 1433 H

Ibu Tanah Air

Sebelumnya

16 Titik Api Dideteksi Di Sumatera, Singapura Berpotensi Berkabut

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Rumah Kaca